Menikmati Cinta di Bawah Lindungan Ka’bah

August 28, 2011 § Leave a comment

Kalau saja saya menonton film Di Bawah Lindungan Ka’bah tanpa beberapa prakondisi tertentu, mungkin saya sudah meninggalkan film tersebut di menit ketiga. Kalau saja saya sudah pernah membaca buku karya Buya Hamka yang katanya menjadi landasan film tersebut, mungkin tulisan ini akan terbentuk dalam kerangka perbandingan antara buku dan film. Namun, di dalam salah satu auditorium blitzmegaplex Grand Indonesia itu, saya duduk sebagai seorang penonton yang tidak memiliki niat atau modal untuk membanding-bandingkan antara “apel” dan “jeruk”, serta sudah bersiap untuk memaklumkan kemunculan produk dan merk abad 21 di film berlatar belakang tahun 1919-1927 itu.

Dengan prakondisi demikian, saya memilih untuk menikmati perjalanan cinta antara Hamid (Herjunot Ali) dan Zaenab (Laudya Cynthia Bella) di sebuah desa yang memegang teguh nilai-nilai agama Islam – kebanyakan secara konservatif. Seperti film karya sutradara Hanny Saputra lainnya, Di Bawah Lindungan Ka’bah diawali dengan banyaknya adegan manis dan indah antara dua karakter utamanya. (Mungkin bukan produk makanan cokelat, kacang dan obat pengusir nyamuk yang seharusnya menjadi sponsor film ini, melainkan produk anti-diabetes.) Dengan berbagai jurus, saya diyakinkan oleh gambar dan suara bahwa Hamid dan Zaenab memang seharusnya bersatu jadi pasangan yang bakal hidup bahagia selama-lamanya.

Film mulai diramaikan dengan hadirnya karakter lain yang menjadi saingan Hamid dalam masalah percintaan ini. Untungnya, skenario Titien Watimena dan Armantono memilih untuk tidak bercerita tentang cinta segitiga atau masalah lapuk perjodohan yang diatur oleh orang tua. Tema itu dibahas tipis-tipis saja dalam porsi yang pas. Ada juga isyu perbedaan kelas sosial antara Hamid dan Zaenab, namun hal itu pun tidak ditelusuri dan digali habis-habisan. Dengan bahasa gambar dan sedikit dialog saja masalah itu sudah dipaparkan dengan efektif.

Konflik terbesar yang muncul adalah interpretasi hukum agama yang berbeda antara Hamid dengan sebagian besar tetua desa sehingga ia harus dibuang. Di sini film menjadi sangat menarik. Masalah ini dipaparkan dengan tenang, wajar, dan tidak berlebihan. Ekspresi Hamid dibawakan dengan baik oleh Herjunot Ali. Ia memendam emosi, menempatkan diri sebagai anak muda yang taat, dan memilih untuk meredakan konflik walau itu berarti ia harus meninggalkan Zaenab dan ibunya. Ada kesedihan yang ditahan-tahan di sini, yang nantinya akan meledak dengan luar biasa.

Berbagai tragedi yang terjadi kemudian berhasil memerah air mata penonton. Hubungan antara Hamid dengan ibunya yang sudah terbangun dengan sangat baik oleh skenario, penyutradaraan dan pemeranan oleh Herjunot Ali dan Jenny Rachman menjadi senjata utama untuk menutup Babak Kedua dengan sebuah adegan yang mengiris hati. Babak Ketiga semata-mata menutup cerita tragedi cinta ini dengan serangkaian adegan yang kuat secara visual.

Beberapa hal yang bisa membuat film ini lebih kuat adalah pemaparan latar belakang sosial budaya serta lokasi yang lebih jelas lagi. Film diberi teks Bahasa Inggris, namun saya ragu apakah penonton non-Indonesia dan non-Muslim – apalagi yang buta sama sekali tentang buku “Di Bawah Lindungan Ka’bah” – bisa mengerti latar belakang cerita yang berlokasi di Padang ini. Kenapa Ka’bah dan naik haji demikian penting buat seorang Hamid saya rasa perlu dijelaskan di dalam film sehingga penonton bisa memahami pilihan-pilihan hidup yang diambil oleh Hamid dan bobot adegan penutup film ini. Saya juga baru memahami posisi Hamid dan ibunya di keluarga Zaenab di sekitar menit kedua puluh sehingga masalah kesenjangan status sosial terlambat untuk dipaparkan.

Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah sebuah kisah cinta yang digarap dengan daya, energi dan biaya yang tidak tanggung-tanggung. Saya pribadi sangat menghargai usaha ini. Sayangnya, biaya yang besar itu jadi mengundang masuknya sponsor yang ditampilkan dengan terlalu gamblang di sepanjang film. Hal ini sangat melukai film itu sendiri walaupun saya, sebagai penonton, memilih untuk tidak menghiraukannya. Tapi pada kenyataannya Di Bawah Lindungan Ka’bah jadi segera dinilai sebagai “film iklan” oleh banyak pihak. Menurut saya, dalam perkara ini semua sama-sama dirugikan: penonton, para pembuat film, pemasang iklan, serta yang terutama adalah film itu sendiri.

Sebagai seorang penonton yang belum membaca buku “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, saya cukup beruntung karena pengalaman menonton saya tidak diwarnai dengan pembanding-bandingan antara buku dan film sehingga saya bisa menikmati cerita cinta yang hendak disampaikan oleh film ini. Sebagai penonton, kita juga bisa merasa dirugikan karena harus dipaksa melihat penempatan produk sponsor yang begitu buruk. Namun, sekali lagi, saya pribadi memilih untuk memaklumi semua itu saja demi memahami dan menikmati cinta di bawah lindungan Ka’bah. (Ve Handojo)

2011, Indonesia. Drama. Director: Hanny Saputra. Writers: Titien Wattimena, Armantono. Cast: Herjunot Ali, Laudya Cynthia Bella, Jenny Rachman, Didi Petet, Widyawati.

Leave a comment

What’s this?

You are currently reading Menikmati Cinta di Bawah Lindungan Ka’bah at Casual talks around the screen..

meta