3D Movie Review Contest Winners

Oh my Gandalf, it was not the easiest task to pick up the winners from the eight finalists! Banyak menimbang ini-itu sebelum bikin keputusan, dan setiap kali bingung kami selalu mencari jawaban di dalam kulkas kami, di mana ada sebotol vodka. And, my nocturnal lifestyle is not helping either. Jadilah pengumuman pun mundur selama dua hari. Maaf, maaf!

Anyway, akhirnya kami “menyisihkan” tulisan-tulisan menggunakan bantuan “kaca pembesar” untuk mencari possible spoilers, no matter how tiny they would be. Tulisan Ishak Yunanto Setiawan tentang Dark Country adalah format penulisan resensi film yang kami cari. (Okay, let’s drop this “kami” thing, because everybody knows that I work all by myself here!) Dengan singkat, pembaca bisa tahu betul apa pendapat Ishak Yunanto Setiawan tentang film itu – how is it, what kind of realm the movie is offering, the strength, and what to expect out of it. “But he didn’t tell anything about the story there!” Oh well … if you’re looking for a synopsis, please click http://www.imdb.com. Having said that, CaramelScreen is glad to give three Buy-One-Get-One vouchers to experience Blitzmegaplex RealD 3D movies for Ishak Yunanto Setiawan.

Semua orang yang pernah belajar menulis tahu betapa pentingnya kalimat pembuka dalam sebuah karya tulis. Kalimat pembuka itu bagaikan kesan pertama waktu kita kenalan sama seseorang; apakah ia sambil mengupil, atau sambil menawarkan segelas martini? (Oh, me and my alcoholic references!) Kalimat pembuka juga menentukan karakter sebuah tulisan. Misalnya, instead of using “Oh my God!” kenapa ngga pakai “Oh my Gandalf!” saja kalau tulisan tersebut berkaitan dengan film? (Yeah, I’m praising myself.) Itulah yang membuat saya berulang-ulang kali membaca resensi Resident Evil: Extinction kiriman Edhi Retno Susanto. Despite of the awful grammar – jangan dimasukkan ke dalam hati, ya Edhi! – kalimatnya menarik dan langsung memberi karakter ke tulisan tersebut. This writer must be a wacko, or simply having the worst heartbreak. Bukan hanya itu, resensinya pun fair, jujur, blak-blakan, tanpa sugarcoating apa-apa. So, it’s only fair if I give two Buy-One-Get-One vouchers to Edhi Retno Susanto buat nonton film 3D di Blitzmegaplex RealD screens.

Now you know why I write this in bilingual, no? Because there’s a fair amount of entries submitted in Indonesian and Bahasa Inggris. Now, if only I could write in English as good as Mr. Ghian Tjandaputra Muhammad did in composing his Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 review! This blog would’ve made zillions and I’d be the Indonesian answer to Harry Knowles. (The tummy’s growing that direction, actually.) So, Ladies and Gentlemen … sorry to ruin your day, but it seems like Ghian Tjandaputra Muhammad will be getting five Buy-One-Get-One vouchers to catch more 3D movies in Blitzmegaplex.

Feeewh!

Now, your next lovely task, Dear Winners, adalah buru-buru mengirim email ke caramelscreen@gmail.com berisi alamat pengiriman hadiah dan nomor telepon yang bisa dihubungi oleh kurir (just in case). For the others … keep on going to the movies, and pray that soon I’ll get the sponsor to throw contests like this again. Thanks for all your participations!

Gifts are sponsored by Blitzmegaplex – Beyond Movies.
This announcement is not sponsored by Absolut Vodka.

Menikmati Cinta di Bawah Lindungan Ka’bah

Kalau saja saya menonton film Di Bawah Lindungan Ka’bah tanpa beberapa prakondisi tertentu, mungkin saya sudah meninggalkan film tersebut di menit ketiga. Kalau saja saya sudah pernah membaca buku karya Buya Hamka yang katanya menjadi landasan film tersebut, mungkin tulisan ini akan terbentuk dalam kerangka perbandingan antara buku dan film. Namun, di dalam salah satu auditorium blitzmegaplex Grand Indonesia itu, saya duduk sebagai seorang penonton yang tidak memiliki niat atau modal untuk membanding-bandingkan antara “apel” dan “jeruk”, serta sudah bersiap untuk memaklumkan kemunculan produk dan merk abad 21 di film berlatar belakang tahun 1919-1927 itu.

Dengan prakondisi demikian, saya memilih untuk menikmati perjalanan cinta antara Hamid (Herjunot Ali) dan Zaenab (Laudya Cynthia Bella) di sebuah desa yang memegang teguh nilai-nilai agama Islam – kebanyakan secara konservatif. Seperti film karya sutradara Hanny Saputra lainnya, Di Bawah Lindungan Ka’bah diawali dengan banyaknya adegan manis dan indah antara dua karakter utamanya. (Mungkin bukan produk makanan cokelat, kacang dan obat pengusir nyamuk yang seharusnya menjadi sponsor film ini, melainkan produk anti-diabetes.) Dengan berbagai jurus, saya diyakinkan oleh gambar dan suara bahwa Hamid dan Zaenab memang seharusnya bersatu jadi pasangan yang bakal hidup bahagia selama-lamanya.

Film mulai diramaikan dengan hadirnya karakter lain yang menjadi saingan Hamid dalam masalah percintaan ini. Untungnya, skenario Titien Watimena dan Armantono memilih untuk tidak bercerita tentang cinta segitiga atau masalah lapuk perjodohan yang diatur oleh orang tua. Tema itu dibahas tipis-tipis saja dalam porsi yang pas. Ada juga isyu perbedaan kelas sosial antara Hamid dan Zaenab, namun hal itu pun tidak ditelusuri dan digali habis-habisan. Dengan bahasa gambar dan sedikit dialog saja masalah itu sudah dipaparkan dengan efektif.

Konflik terbesar yang muncul adalah interpretasi hukum agama yang berbeda antara Hamid dengan sebagian besar tetua desa sehingga ia harus dibuang. Di sini film menjadi sangat menarik. Masalah ini dipaparkan dengan tenang, wajar, dan tidak berlebihan. Ekspresi Hamid dibawakan dengan baik oleh Herjunot Ali. Ia memendam emosi, menempatkan diri sebagai anak muda yang taat, dan memilih untuk meredakan konflik walau itu berarti ia harus meninggalkan Zaenab dan ibunya. Ada kesedihan yang ditahan-tahan di sini, yang nantinya akan meledak dengan luar biasa.

Berbagai tragedi yang terjadi kemudian berhasil memerah air mata penonton. Hubungan antara Hamid dengan ibunya yang sudah terbangun dengan sangat baik oleh skenario, penyutradaraan dan pemeranan oleh Herjunot Ali dan Jenny Rachman menjadi senjata utama untuk menutup Babak Kedua dengan sebuah adegan yang mengiris hati. Babak Ketiga semata-mata menutup cerita tragedi cinta ini dengan serangkaian adegan yang kuat secara visual.

Beberapa hal yang bisa membuat film ini lebih kuat adalah pemaparan latar belakang sosial budaya serta lokasi yang lebih jelas lagi. Film diberi teks Bahasa Inggris, namun saya ragu apakah penonton non-Indonesia dan non-Muslim – apalagi yang buta sama sekali tentang buku “Di Bawah Lindungan Ka’bah” – bisa mengerti latar belakang cerita yang berlokasi di Padang ini. Kenapa Ka’bah dan naik haji demikian penting buat seorang Hamid saya rasa perlu dijelaskan di dalam film sehingga penonton bisa memahami pilihan-pilihan hidup yang diambil oleh Hamid dan bobot adegan penutup film ini. Saya juga baru memahami posisi Hamid dan ibunya di keluarga Zaenab di sekitar menit kedua puluh sehingga masalah kesenjangan status sosial terlambat untuk dipaparkan.

Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah sebuah kisah cinta yang digarap dengan daya, energi dan biaya yang tidak tanggung-tanggung. Saya pribadi sangat menghargai usaha ini. Sayangnya, biaya yang besar itu jadi mengundang masuknya sponsor yang ditampilkan dengan terlalu gamblang di sepanjang film. Hal ini sangat melukai film itu sendiri walaupun saya, sebagai penonton, memilih untuk tidak menghiraukannya. Tapi pada kenyataannya Di Bawah Lindungan Ka’bah jadi segera dinilai sebagai “film iklan” oleh banyak pihak. Menurut saya, dalam perkara ini semua sama-sama dirugikan: penonton, para pembuat film, pemasang iklan, serta yang terutama adalah film itu sendiri.

Sebagai seorang penonton yang belum membaca buku “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, saya cukup beruntung karena pengalaman menonton saya tidak diwarnai dengan pembanding-bandingan antara buku dan film sehingga saya bisa menikmati cerita cinta yang hendak disampaikan oleh film ini. Sebagai penonton, kita juga bisa merasa dirugikan karena harus dipaksa melihat penempatan produk sponsor yang begitu buruk. Namun, sekali lagi, saya pribadi memilih untuk memaklumi semua itu saja demi memahami dan menikmati cinta di bawah lindungan Ka’bah. (Ve Handojo)

2011, Indonesia. Drama. Director: Hanny Saputra. Writers: Titien Wattimena, Armantono. Cast: Herjunot Ali, Laudya Cynthia Bella, Jenny Rachman, Didi Petet, Widyawati.

Movies to Grow Up with

The Sound of Music (1965)

Getting Maria’s lesson on the do-re-mi of life should be on of the basic human rights. There is no way we should stop this movie from being one of the lifetime favorite things of a child. We grow up to see ourselves from being Gretl to Friedrich to Liesl, and finally Maria or Georg. And who did not feel like Liesl and Rolfe dancing around the glass house as they were in love for the first time?

Toy Story 1-3 (1995-2010)

In the span of fifteen years, the trilogy has showcased the sweetness of friendship where truthfulness, faith and loyalty are the main ingredients to make it last. We feel with Woody as he was jealous and misunderstood, and the rest of the gang as they felt being left behind. The reconciliations are always touching and sweet, making children all around the world – and the ones within us – learn that no matter how dark the conflicts, dealing with it and reconciling always bring back the sunshine. Oh, and toys teach more lessons than Angry Birds.

Star Wars: Episode IV-VI (1977-1983)

The opening theme, the rolling text, the speeding space ships, the light sabers, C3PO and R2D2 have become a limitless escape for our fantasy. George Lucas’s imaginative vision of a far, far away galaxy encourage kids to open up the space inside their own mind, and at the same time teach them to be brave while facing their own Vaders. We’d love to grow up as Luke Skywalker, and yet we know that it’s the bad boy Han Solo that always gets lucky. The universal truth.

E.T.: The Extra-Terrestrial (1982)

Alienated at home, Elliott befriends an alien who phones home. With Elliott we learn how miraculous a bond between two friends could be. The movie erases prejudices towards those who are strange and new, and encourages boldness to accept new things and adventures as we grow up.

Harry Potter – The Complete Series (2001-2011)

Gallantry and valiance are the main characters the series want to underline. Harry Potter was born with a purpose, and he is set to fulfill it. The best part is, he is not destined to be a lonesome hero. His life is written to have a Ron, Hermione, Hagrid, Neville Longbottom, Sirius Black and the rest of trusting friends without whom he cannot live his life. A classic good versus evil legend that is worth revisiting from time to time.

Ferris Bueller’s Day Off (1986)

There is always at least one day in our life that we wish we could skip school, or college, or work. Ferris’s day off is that little utopia. We root for the silliness and irresponsibility of the boy, and we love how things turn out to defense him all the way. The “Twist and Shout” music sequence is among the happiest moment in film history. Freedom as a part of coming of is the main theme, and one thing that we will always cherish as grow older.

Almost Famous (2000)

We will never grow up had we never threw ourselves to a big, wild world that is beyond our comfort zone. William Miller did it, and he overcome the overwhelming madness of a rockin’ life with what every mothers should be proud of; his faith and loyalty to the values of friendship, love, and commitment. An all-time coming-of-age gem that is fashioned with good music and real, challenging characters.

Sleepless in Seattle (1993)

“It’s magic!” We always remember this simple line in the movie as we fall in love with someone we have never thought of, even at times we have never seen before. What happens between Tom Hanks and Meg Ryan here is beyond love at first sight. The story incepts an idea of love that is beyond our logic and as something we believe in with purely our conscience. The movie is harmless for kids as there is no harsh lingo or skimpy clothes. A bedroom story for kids, teenagers, and adults alike.

Forrest Gump (1994)

Just like good wine, Forrest Gump ages to get better. It shares us new values every single time we see it again. The lead character here is Mr. Conscience and his struggle to win every battle with his innocent truthfulness and clarity. Through the point of view of one Forrest Gump, we see humanity in the many.

Menonton “Catatan Harian Si Boy”

Pada hari Senin, 4 Juli 2011, Plaza Senayan XXI dibanjiri pemesanan tiket untuk menonton film Catatan Harian Si Boy pada jam 19.45. Ada dua kelompok besar yang memborong tiket sejak siang hari. Kelompok pertama memborong tidak kurang dari 42 tiket, sementara kelompok kedua sekitar 100 tiket. Dalam durasi 98 menit, film yang berkisah tentang seorang pemuda bernama Satrio (Ario Bayu, Kala, Pintu Terlarang) ini menghibur penonton di Studio 2 Plaza Senayan XXI yang sebagian besar memiliki kenangan erat tentang tokoh ideal bernama Boy yang populer di tahun 1980-an lewat sandiwara radio dan film layar lebar Catatan Si Boy.

Pertanyaan yang menggantung di benak saya sejak awal mendengar bahwa kisah Si Boy akan dihidupkan kembali ada banyak. Berhasilkah Boy memikat hati kalangan penonton terbesar di Indonesia, yaitu kalangan remaja yang belum lahir di saat ia berada di puncak keemasannya? Kalau film-film Catatan Si Boy dulu memajang demikian banyak kemewahan – mulai dari lokasi di San Francisco hingga parade mobil dan rumah mewah – mampukah Catatan Harian Si Boy menandinginya? Mungkinkah Catatan Harian Si Boy menghidupkan kembali kisah cinta Boy dengan Nuke dan Vera?

Saya sendiri tidak pernah sekali pun mendengarkan sandiwara radio Catatan Si Boy, walau setia menonton semua filmnya. Buat saya, film-film Catatan Si Boy adalah warisan perfilman Indonesia tahun 1980-an karena keberhasilannya menjadi bukan hanya sebuah franchise, tapi juga momentum sosial-budaya. Film-film Catatan Si Boy adalah sebuah “summer blockbuster” versi Indonesia; mengedepankan nama-nama besar sebagai para pemainnya, memiliki nilai produksi yang luar biasa, menghadirkan tokoh “superhero” yang dipuja-puja banyak orang, dan memiliki jalinan cerita yang menghibur.

Catatan Harian Si Boy memanggul banyak beban kalau harus dibanding-bandingkan dengan Catatan Si Boy I-V. Kenyataan bahwa film garapan Produser dan Sutradara Putrama Tuta ini tidak banyak bercerita tentang karakter Si Boy memancing rasa skeptis banyak pecinta setia Si Boy. Catatan Harian Si Boy memilih jalan paling efektif dan bijak untuk menjawab semua tantangan, beban, dan pandangan skeptis itu: regenerasi sebuah semangat, atau “spirit”.

Satrio tidak akan bisa menggantikan Boy, sama seperti Ario Bayu tidak akan mampu menggantikan Onky Alexander. Kondisi finansial industri perfilman Indonesia saat ini – dengan perolehan penonton yang relatif sedikit, serta citra film lokal yang sudah memasuki masa kritis – tidak juga bisa menandingi era 1980-an sehingga nilai produksi Catatan Harian Si Boy pun tidak mungkin tak terbatas.

Efektivitas cerita Catatan Harian Si Boy terletak dalam perancangan karakter-karakternya. Satrio bukanlah anak yang tinggal di dalam sebuah istana di bilangan Menteng, tapi seorang anak bengkel. Teman-temannya pun – Nina, Andi, Heri – adalah anak-anak bengkel. Kemewahan ditumpukan pada karakter Tasya (Carissa Puteri) – seorang perancang busana yang asyik bergaul sambil menenteng tas Hermes dan Chanel sementara ibunya, Nuke, sedang dalam kondisi kritis di rumah sakit. Nilai produksi film ini juga sempat meningkat dalam adegan kebut-kebutan di Bunderan Hotel Indonesia yang kosong melompong, serta ketika kaca mobil Porsche dihancurkan. Adegan-adegan ini bagaikan dandanan bagi inti cerita yang sangat sederhana: Satrio mau membantu Tasya bertemu Boy yang sekarang sudah jadi “pertapa di dalam gedung kantornya yang mewah” demi memulihkan kesehatan Nuke.

Walau dialog yang keluar dari mulut Nina seolah menolak film ini disamakan dengan sinetron, cerita tentang “seorang ibu-ibu yang sedang meregang nyawa, dan hanya bisa disembuhkan dengan kehadiran sang mantan kekasih” sebenarnya sudah sering ditayangkan di layar televisi kita. Begitupun, dinamika persahabatan antara Satrio, Nina, Andi dan Heri serta teman baru mereka yang bernama Tasya itu berhasil menghadirkan sesuatu yang jarang ditemukan di layar lebar Indonesia akhir-akhir ini: kisah tentang sekumpulan orang dewasa muda yang bahu-membahu dalam setiap segi kehidupan mereka.

Pada akhirnya, Catatan Harian Si Boy memang tidak memilih untuk menghidupkan lagi tokoh Boy, menjadi mewah, ataupun menghadirkan kisah cinta segi tiga. Catatan Harian Si Boy memilih untuk mengingatkan penontonnya tentang pertemanan – sebuah nilai yang mungkin nyaris luntur dari Angkatan ’80-an selama tiga puluh tahun terakhir ini. Pada akhirnya, tema yang dibawakan dengan kuat itu berhasil membuat penonton tidak mementingkan apakah Ario Bayu berhasil menggantikan Onky Alexander atau tidak, atau apakah kisah ini terjadi di San Fransisco atau seputar bengkel mobil saja.

Pertemanan juga jadi tema yang strategis untuk diangkat karena sifatnya yang universal. Kalangan remaja yang tidak mengenal siapa Boy bisa mengikuti kisah persahabatan yang diketengahkan oleh Catatan Harian Si Boy. Karakter-karakter Heri sebagai Emon yang baru, serta Andi sebagai Kendi yang baru berhasil dibawakan oleh Albert Halim dan Abimana Setya. dengan alami, sehingga menjadi nilai hiburan utama film ini. Minim dan kakunya chemistry antara Satrio dengan Nina dan Tasya semakin mengukuhkan bahwa kisah cinta hanyalah subplot dari film persahabatan ini.

Catatan Harian Si Boy juga menuai keuntungan tersendiri ketika dirilis di tengah sedikitnya film Indonesia yang memiliki nilai produksi yang baik, dan berniat menjadi komersil tanpa mengusung genre horor-sensual. Catatan Harian Si Boy jadi sebuah pilihan tontonan komunal yang eksklusif, serta alasan untuk membeli tiket di bioskop-bioskop yang kehilangan Transformers: Dark of the Moon dan Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2. (Ve Handojo)

2011, Indonesia. Drama, Remaja. Sutradara: Putrama Tuta. Penulis: Priesnanda Dwisatria, Ilya Sigma. Pemain: Ario Bayu, Carissa Puteri, Poppy Sovia, Albert Halim, Abimana Setya, Paul Foster, Tara Basro.

Payung Merah (Red Umbrella) Wins Best Asian Short Film Awards in ScreenSingapore

AddWord Productions’ Payung Merah (Red Umbrella) is announced as the winner of Asian Short Films Awards @ScreenSingapore 2011. The 9.5-minute long movie is picked by a board of jury helmed by Oliver Stone. Payung Merah (Red Umbrella) competes with 90 entries from 15 countries. Pictured from left: co-director Andri Cung, jury member and Director and CEO of RGM Media Ltd. Devesh Chetty, leading actor Rio Dewanto, leading actress Atiqah Hasiholan, and co-director Edward Gunawan.

“We actually didn’t even expect the film to be nominated, so we are really shocked by the award. We are truly honored by this recognition,” Cung shares after receiving the award with Gunawan in the opening of ScreenSingapore 2011. Cung and Gunawan win cash prize of S$ 20,000.

The supernatural thriller-drama Payung Merah (Red Umbrella) centers on a taxi driver (Dewanto) who learns to appreciate his loved ones after picking up a beautiful and mysterious passenger (Hasiholan). In Bahasa Indonesia with English language subtitles, this short film also features theater veteran Zubir Mustaqim and marks the first collaboration between Gunawan and Cung.

“We made the short film to show what we can do as filmmakers in this genre. Receiving an award like this definitely encourages us very new filmmakers to keep on going. We hope that this will also help us attract and convince potential investors and sponsors to get our feature film made,” Gunawan concludes.

Cung and Gunawan are still working on their feature film debut The Muse. There is also a talk to adapt Payung Merah (Red Umbrella) to a feature film. (Ve Handojo)

For info and review on Payung Merah (Red Umbrella), click here.

Payung Merah (Red Umbrella)

In 9.5 minutes, Payung Merah (Red Umbrella) follows a late-night journey of Reza (Rio Dewanto), a taxi driver who is not the most sympathetic husband to his wife. Despite of fulfilling his promise to come home right away, he takes a girl (Atiqah Hasiholan) who is holding open a red umbrella. As conversation with his passenger flows through the long journey that takes him only further from home, Reza starts to notice some unusual things in his backseat.

Directors Andri Cung and Edward Gunawan chose to openly tell their audience from the start that this short movie is a supernatural one. Audience is expected to focus on the subtle message on love and family bond through Reza’s brief encounter with Lady Red Umbrella and a mysterious man (Zubir Mustaqim) who appears at the end of Reza’s journey.

Payung Merah (Red Umbrella) had its world premiere in 35th Hong Kong International Film Festival in Marh 2011. It was then touring the international circuit with screenings at the 2011 Phoenix International Film Festival, International Horror and Sci-Fi Film Festival, Comicon Film Festival (Arizona, USA), Los Angeles Asian Pacific Film Festival (California, USA). It has also been selected from over 300 submissions to compete at the prestigious Oscar-qualifying 2011 Palm Springs International Short Fest (California, USA) in June.

Right now, Payung Merah (Red Umbrella) is competing against over 100 entries from 15 Asia Pacific countries in Asian Short Film Awards @ScreenSingapore. Oliver Stone heads the jury panel. The winner will win cash prize of SG$ 20,000 (US$ 15,800). (Ve Handojo)

2011, Indonesia. Short Movie. Drama, Mystery. Directors: Andri Cung, Edward Gunawan. Writer: Edward Gunawan. Cast: Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto, Zubir Mustaqim.

Matah Ati

The 18th Century Central Java has had a legion of female warriors to fight against the Dutch colonial soldiers. Rubiyah, a dancer from the small village of Matah, has a dream of becoming a princess. The beautiful girl keeps the dream within her spirit. One day, Raden Mas Said, a resilient warrior and lord whom Rubiyah adores wholeheartedly, passes the village. He is impressed by the beauty of Rubiyah.

Matah Ati opens with a vibrant showcase of female warriors, followed with the scented Rubiyah’s dream. The burnt incense quickly endorses a dreamy and mystical atmosphere inside the theater. On the 15-degree elevated stage with a 14-meter wide trap door, writer, director, costume designer, and producer B.R.Ay Atilah Soeryadjaya, creates a splendid sendratari – a Javanese form of opera – that displays the cheerfulness of a village, the sanctity of a meditation room, the horror of a battlefield, and the magic of shadow puppetry. The chapter where two soldiers exercise dueling with oversized whiplashes exhibits world-class choreography.

Javanese traditional female vocalists – known as pesindhen or waranggono – display their powerful vocal chords throughout the 140-minute show. The gamelan orchestra carry the spellbinding music arranged by Blacius Subono. The choreography is like nothing we have ever seen before – some newly-interpreted legendary numbers. Expect to be entertained as four elderly Javanese ladies have their hilarious conversation – even if you don’t speak any Javanese. Huge applause to Art Director Jay Subiyakto! The lighting is a dazzling feast for our eyes. The modern technology compliments the traditional content.

Every scene is a spectacle with a big “Wow!” effect. The complicated final battle scene is very well directed. Matah Ati closes with a sensual dance that lingers. Audience will leave the theater as if just waking up from a bewitching, beautiful dream. It is a tale of the ageless feminism – a fearless lady warrior, with her conscious submission to love. The precious show that unveils Javanese priceless traditions belongs in the most prestigious stages all over the world, as well as in the heart of its audience. Its lucky audience. (Ve Handojo)

Matah Ati, Teater Besar Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia. May 13-16, 2011. Facebook: Matah Ati. Twitter: @matah_ati

Introduction

After a long consideration, finally this movie blog is started. There’s nothing sophisticated about CaramelScreen – a name chosen merely because great movies come hand-in-hand with tasty caramel popcorn. The aim is to keep things as casual as possible. Those who are keen to discuss movies in a more sophisticated way can set an appointment with François Ozon. (Sorry, we don’t have his number.)

CaramelScreen takes movies from an audience point of view. We pay the ticket price, and so we have the rights to say what we want. However, we don’t believe in “good” or “bad”. It’s either we like them, or we’re sorry to have spent the time watching them. We don’t believe in scores, or stars, or the likes. We just believe that some movies are made for brainiacs, some for slackers, some for Edward Cullen worshippers (okay, not us!), and so forth.

In the long run, CaramelScreen has one important target: to grab free invites to movie screenings. Yes, we’re that low.